Beranda | Artikel
Kedustaan Mutazilah Terhadap Keluarga Amîrul-Mukminîn Ali bin Abi Thâlib
Rabu, 18 Januari 2023

KEDUSTAAN MU’TAZILAH TERHADAP KELUARGA AMIRUL MUKMININ ALI BIN ABI THALIB

Pembicaraan tentang aliran Mu`tazilah akan tetap hangat, lantaran aliran yang sangat “mendewakan akal manusia” ini tidak hanya keberadaannya masih tetap eksis, namun juga telah melahirkan generasi penerusnya sepanjang masa. Bahkan mendominasi arus pemikiran di sebagian kantong-kantong akademis berbasis Islam.

Mungkin saja ada asumsi kemunculan Mu’tazilah baru nampak waktu belakangan. Pandangan ini jelas tidak dapat diterima, karena inti pemikiran Mu`tazilah sudah lama beredar di tengah masyarakat muslim dengan baju yang baru. Pada masa lampau, sejumlah nama mentereng menjadi sebutan bagi aliran yang tidak lurus ini, seperti: ahlul-‘adl wat-tauhid, ahlul-haq, firqah nâjiyah.[1]

Adapun sekarang ini, gerakan yang sangat mengagungkan akal masuk dalam sebutan aqlâniyyûn, kaum aqlaniyyun maupun nama-nama lainnya. Sebab, selama esensi pemikiran suatu golongan sepaham dengan Mu’tazilah, maka sama saja. Jadi, secara definitif, Mu’tazilah adalah sebuah golongan yang menempuh cara-cara rasionalis secara ekstrim untuk menetapkan dan memahami aqidah Islamiyyah.[2]

Untuk itu, sangat diperlukan upaya mengkonter keyakinan-keyakinan yang tidak pernah ada pada pendahulu Islam dari kalangan para sahabat. Tujuannya, tidak lain, supaya aqidah umat Islam terjaga dan selamat dari kekeliruan.

Kapan Mu’tazilah Muncul?
Kemunculan kali pertama aliran ini masih diperdebatkan. Pendapat mayoritas mengatakan muncul pada tahun 100-110 H. Yaitu saat Wâshil bin ‘Athâ` tidak sependapat dengan gurunya al- Hasan al-Bashri –dan pendapat Salaful Ummah– mengenai status seseorang yang telah berbuat dosa besar.

Ketika itu, dalam majlis al-Hasan al-Bashri[3] sedang diangkat pembicaraan masalah tersebut. Al-Hasan al-Bashri mengatakan: “Orang itu fasik (keluar dari ketaatan, tetapi tidak/belum kafir)”.

Sementara itu, Wâshil tidak mengangguk sebagai tanda setuju terhadap pandangan sang guru, dan ia menilai orang tersebut berada di satu tempat antara keimanan dan kekufuran (manzilatun baina manzilatain). Lantas Wâshil meninggalkan majlis Imam al-Hasan al-Bashri menuju satu tiang yang berada di masjid dengan diikuti oleh para muridnya.

Di situlah, kemudian Wâshil mulai menyebarluaskan keyakinan barunya. Melihat itu, al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata: “I’tazalanâ Wâshil”. Artinya, Waashil telah meninggalkan kita.[4]

Berdasarkan kejadian ini, nama Mu’tazilah (i’tizâl) sebenarnya mengandung celaan terhadap mereka, dan merupakan bentuk penyimpangan yang begitu mudah dilihat berdasarkan jalan ahli sunnah wal-jamâ’ah. Karena mereka telah menjauhi pandangan yang telah mapan di kalangan umat Islam tentang pelaku dosa besar.[5]

Kedustaan Mu’tazilah Atas Ali bin Abu Thaalib
Di dalam kitab-kitab mereka, kaum Mu`tazilah menyatakan bahwasanya aliran mereka itu sudah muncul terlebih dahulu sebelum kelahiran Wâshil. Sehingga, sebagian nama dari kalangan Ahli Bait (keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) pun dicatut oleh mereka untuk “menutupi” kebusukan yang mereka yakini.

Oleh karenanya, mereka melontarkan klaim: “Sesungguhnya aliran Mu`tazilah berpangkal dari ‘Ali bin Abi Thâlib. Putranya, yakni Muhammad bin al-Hanafiyah-lah yang mewarisi aqidah ini dari beliau. Kemudian dipegang secara estafet oleh putra Muhammad, yaitu Abu Hisyâm yang merupakan guru Wâshil bin ‘Athâ`.

Statemen Mu’tazilah ini tentu terpatahkan dengan penjelasan berikut.

  1. Bahwasanya riwayat-riwayat yang menisbatkan aqidah Mu`tazilah kepada ‘Abi bin Abi Thâlib tidak termaktub kecuali di kitab-kitab Mu`tazilah saja.. Terlebih lagi, sanad-sanadnya pun tidak shahîh. Ini sudah mengundang kecurigaan jika riwayat-riwayat tersebut merupakan rekaan tangan mereka sendiri.
  2. Atsar yang berasal dari ‘Ali bin Abi Thâlib – dalam riwayat yang shahîh– beliau justru melarang berbicara tentang takdir secara mendalam. Karena perkara itu merupakan rahasia milik Allah Subhanahu wa Ta’ala . Bagaimana mungkin beliau Radhiyallahu anhu melarang sesuatu yang diyakininya (aqidah Mu’tazilah)?! Sudah tentu sangat mustahil terjadi.

Kedustaan Mu’tazilah ini semata-mata sebagai upaya untuk menunjukkan keotentikan pemikiran mereka. Jika menisbatkan kepada ‘Ali atau salah seorang putranya, untuk mengelabui bahwasanya yang mereka yakini tidak keluar dari ketetapan aqidah Ahli Sunnah wal-Jamâ’ah.

Berdasarkan kajian-kajian intensif, maka tidak dapat disangkal jika Mu’tazilah pada masa lampau mendasarkan pada sendi-sendi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Pemikiran mereka terpengaruh dan mengadopsi dari buku-buku filsafat Yunani, keyakinan-keyakinan Majusi, Hindu, Shaabiah, Ahli Kitab dan lain-lain. Arus pemikiran ini merupakan kelanjutan dari apa yang dideklarasikan Ghailân ad-Dimasyqi, Ma’bad al-Juhani, al-Ja’d bin Dirham, Jahm bin Shafwân. Mereka ini ialah orang-orang yang telah dikenal kekeliruan aqidahnya.

Regenerasi ini terus berlanjut hingga sampai kepada Thâlut yang berguru kepada Labîd bin al-A’sham yang beragama Yahudi. Begitu juga seorang keturunan Yahudi yang bernama Bisyr al-Mirrîsi pernah menjadi rujukan kaum Mu’tazilah. Ayah Bisyr al-Mirrîsi sendiri beragama Yahudi. Sehingga wajar pandangan yang mengatakan Al-Qur`ân itu makhluk merupakan pemikiran yang dialamatkan dan berawal dari tokoh-tokoh ini, karena memang digagas oleh mereka. Pandangan keliru ini menjadi keyakinan yang menonjol di kalangan kaum Mu`tazilah.

Demikian sekilas tentang Mu`tazilah. Dan dari penjelasan singkat ini, kita pantas untuk memperhatikan pernyataan ‘Abdul-Qaahir al Baghdaadi rahimahullah. Dia mengingatkan bahwasanya bid’ah dan kesesatan yang muncul dalam Islam tidak lain berasal dari keturunan para tawanan suku bangsa yang dikalahkan.[6]

Oleh karena itu, hendaklah kaum muslimin berhati-hati dan tidak terpukau dengan apa yang datang dari musuh-musuh Islam. Karena bisa jadi kita akan terpengaruh, sehingga memengaruhi cara pandang kita terhadap kemurnian Islam.

Kesimpulan lain yang bisa kita ambil, asumsi yang menyatakan bahwa pokok-pokok pemikiran dari golongan yang menyimpang –seperti Mu’tazilah, Qadariyyah, Syi’ah dan lain-lain– konon bersumber dari prinsip-prinsip dalam Islam sendiri yang kemudian mengalami penyimpangan, maka sesungguhnya asumsi semacam ini sangat keliru. Yang benar, penyimpangan itu awalnya bersumber dari non Islam, baik dari ajaran-ajaran Yahudi, Nashara maupun paganisme. Kemudian, seiring perjalanan waktu, secara zhahir terkesan berbaju dan bernuansa Islam, padahal hanya merupakan lipstik yang dibuat para kreator dan penganutnya, yang sebenarnya merupakan kebusukan, kesesatan maupun kekufuran. Karenanya, sebagian kaum muslimin terperdaya dengan penampilan yang meyakinkan itu.[7]

Petunjuk paling kuat dalam masalah seperti ini, bahwasanya kita tidak akan menjumpai salah satu pilar golongan yang sesat kecuali prinsip tersebut –sebenarnya- menjadi bagian yang berkaitan dengan agama atau keyakinan di luar Islam.

Hal ini mengacu pada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ (متفق عليه).

“Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta-demi sehasta. Sampai pun mereka akan memasuki lubang kadal padang pasir, niscaya kalian akan mengikutinya”. Para sahabat bertanya: “Apakah Yahudi dan Nashara (yang dimaksud)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?!” [HR al-Bukhâri, 7320, dan Muslim, 2669]. (abu minhal)

Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Al-Mu’tazilah, 26.
[2] Al-Mu’tazilah, 14.
[3] Abu Sa’îd al-Hasan bin Abil-Hasan al-Bashri. Salah seorang tokoh besar dari generasi Tabi’în. Populer dengan keilmuan, zuhud, wara’ dan ketekunannya dalam beribadah. Wafat tahun 110 H.
[4] Al-Ittijâhâtul-‘ Aqlâniyyatul-Hadîtsah 40. Lihat juga al-Mu’tazilah, 27.
[5] Al-Mu’tazilah, 15.
[6] Al-Farqu Bainal-Firaq, 84.
[7] Lihat pembahasan hubungan antara ahli bid’ah dengan agama-agama di luar Islam dalam Majalah As- Sunnah, Edisi 11/Th. VIII/1425H/2005M


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/71681-kedustaan-mutazilah-terhadap-keluarga-amirul-mukminin-ali-bin-abi-thalib.html